Minggu, 05 September 2010

Mempertebal Myelin, Memobilisasi Intangibles

Myelin: Memobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan. Myelin intangible assets sebagai landasan melakukan perubahan. Menyoroti transformasi yang dilakukan sejumlah pemimpin perusahaan Indonesia yang tidak semata-mata menyentuh aspek tangible, tetapi mulai melihat peran intangibles.

Kesalahan mendasar bekaitan dengan memori karena selama ini kita lebih banyak memperhatikan brain memory, padahal selain itu juga ada muscle memory sebagai sumber talenta yang bisa dibentuk melalui deep practice. Menurutnya, sejumlah fakta baru menunjukkan pembentukan myelin ada di balik sukses artis besar, pelukis terkemuka, akademisi terpandang, dan lain sebagainya. Myelin merupakan lapisan yang membungkus sel-sel syaraf manusia dan berfungsi sebagai insulasi. Semakin tebal myelin, semakin hebat ia bekerja. Rhenald menulis buku ini berdasarkan gabungan dari empat hal, yaitu riset, pengalaman, pengetahuan dan perjalanan.

Di samping sejumlah contoh perusahaan dalam dan luar negeri serta para individu terkemuka, untuk menjelaskan pentingnya myelin dan intangibles Rhenald juga memfokuskan riset di dua perusahaan yang menurutnya sangat kaya aset nirwujud, yaitu PT Wijaya Karya (Wika) dan Blue Bird.

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian dan terdiri dari sembilan bab. Jika dibaca, seperti suatu cerita atau bunga rampai berbagai event yang sarat wisdom. Tampaknya Rhenald ingin sekali menunjukkan bahwa hal serius terkait intangibles ini — yang dipilahnya menjadi internal intangibles dan external intangibles รข€“ bisa dipahami dengan mudah. Banyak orang berstigma bahwa hal-hal yang terkait dengan akademisi biasanya akan sangat rumit dan tidak menarik cara penyampaiannya. Melalui buku ini, terlihat bahwa meskipun latar belakang akademis Rhenald sangat kuat, dia tidak semakin memperumit hal-hal yang semestinya cukup rumit. Jadilah buku ini layaknya trade book yang enak dibaca bagi non-akademisi.

Pada sisi lain, buku ini juga harus diperhitungkan sebagai referensi bagi para akademisi, khususnya pengajar di jurusan manajemen strategis, baik S-2 maupun S-3, karena kaya kasus atau contoh orisinal Indonesia. Hal ini diperlukan agar mahasiswa dapat memahami konsep intangible assets secara lebih kontekstual berdasarkan berbagai kasus khas Indonesia yang sering didapati tidak cukup mendalam.

Berbagai konsep dalam ranah manajemen strategis, khususnya yang berkenaan dengan intangible assets, lebih banyak dibicarakan di berbagai disertasi doktoral atau jurnal ilmiah yang di Indonesia kurang terpublikasi dalam format yang lebih populer, ringan dan tidak menakutkan. Karenanya, buku ini penting sebagai pintu masuk bagi pelaku bisnis — baik intrapreneur maupun entrepreneur“ untuk lebih memahami konsep intangible assets sebagai penentu kelangsungan bisnis perusahaan.

Rhenald juga menjelaskan bahwa perusahaan yang progresif adalah perusahaan yang memobilisasi harta-harta nirwujudnya. Sementara perusahaan yang semata memfokuskan perhatian pada tangible assets akan menjadi stagnan. Karakterisitik intangibles juga disinggung secara singkat tetapi jelas. Hal menarik yang perlu diperhatikan pembaca adalah sifat intangibles yang tidak mudah diperoleh dalam waktu singkat bahkan melalui pembajakan karyawan sekalipun. Hal ini menjelaskan adanya fenomena time compression diseconomies berkaitan dengan sumber daya nirwujud tersebut.

Tanpa manusia bertalenta, tentu sulit bagi suatu perusahaan menciptakan value secara signifikan bagi masyarakat luas, karena proses value creation itu ada pada setiap individu yang berkarya di perusahaan terkait. Maka, pemimpin harus menyadari bahwa myelin dalam setiap individu di perusahaannya merupakan landasan penting bagi kelangsungan bisnis. Rhenald juga menyoroti masalah ini dan — sebagaimana yang juga sering diungkapkan oleh para pakar lainnya — mengatakan bahwa knowledge yang bersifat tacit sebisa mungkin harus dieksplisitkan. Krusial bagi perusahaan untuk mengumpulkan berbagai knowledge yang tercecer di mana-mana di perusahaan itu dan mengelolanya dengan baik melalui suatu proses knowledge management.



Myelin dan intangibles berperan sangat penting dalam berinovasi yang pada gilirannya menimbulkan value creation tinggi. Sama halnya dengan knowledge management, Rhenald menulis satu bab penuh hanya untuk membahas value creation. Ini mencerminkan concern Rhenald bahwa pada akhirnya ukuran kemampuan berkompetisi terletak pada sejauh mana value creation yang dapat diberikan oleh orang di suatu perusahaan atau oleh perusahaan di suatu negara.

Secara keseluruhan, buku ini memang menarik, tetapi bagian paling menggelitik dari buku ini terletak pada bab terakhir yang membahas mobilisasi intangibles nasional. Para petinggi negara ini perlu membacanya secara mendalam dan bertanya apakah intangibles yang dimiliki negara ini sudah cukup untuk membawa negara kita tercinta menjadi kompetitif di tingkat dunia? Atau, jangan-jangan masih banyak lagi intangibles yang diperlukan negara ini? Katakanlah trust yang menurut Francis Fukuyama penting bagi penciptaan kemakmuran suatu negara. Sayang sekali bahasan ini hanya dijatah sebanyak satu bab, padahal orang sekaliber Rhenald pasti mempunyai kapabilitas untuk menjabarkan mobilitas intangibles nasional ini secara lebih dalam dan luas. Mungkin bab ini bisa dikembangkan menjadi buku tersendiri di masa mendatang.

Seperti dikatakan Rhenald, dia menulis untuk mengubah pikiran pembacanya. Dengan pengumpulan bahan-bahan penulisan selama sekitar 10 tahun, rasanya buku ini bisa menyentil tidak hanya pikiran, tetapi juga hati para pembacanya. Kita semua tahu — bahkan mungkin juga mengalami — bahwa mengubah pikiran seseorang tidaklah mudah, apalagi mengubah pikiran banyak orang. Hal ini sangat menantang seperti diungkapkan Rhenald berdasarkan pengalamannya dengan buku Change! Buku terdahulunya itu pernah menjadi bacaan wajib di suatu perusahaan dan menjadi sumber inspirasi positif. Namun, ternyata di perusahaan tersebut para pembaca buku Change! hanya keasyikan membaca dan berwacana. Pada akhirnya tidak ada perubahan besar dan hal ini juga mengecewakan Rhenald. Moral dari cerita ini adalah bahwa kita semua tidak boleh berhenti sampai pada tahap membaca dan memahami saja, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita bertindak konkret dan result-oriented.

Perubahan berdasarkan mobilisasi intangibles ini tidak bisa semata-mata ditumpukan pada seorang Rhenald. Dia sudah sangat berbaik hati mengumpulkan semua yang diketahuinya mengenai myelin, intangibles, dan lain sebagainya serta aktif sebagai pembicara ataupun pengajar yang gencar mengajak berbagai pihak melakukan perubahan. Selebihnya, tergantung pada para pembaca sendiri untuk bertransformasi dengan mempertebal myelin, meningkatkan (dan memanfaatkan) intangibles, serta pada gilirannya meningkatkan value creation untuk kebaikan stakeholders. Rhenald sudah berusaha menunjukkan why, what dan how-nya. Jadi, siapa takut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar